BAPAK
PENDIDIKAN NASIONAL
Pendiri
Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada
tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi
dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal
dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.
Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat,
saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi
Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar
kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat
dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan
hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan
bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian
sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu
membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet
sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu
mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian,
bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang
beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan
mencapai Indonesia merdeka. Mereka
berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui
Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah
karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian
setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai
komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda.
Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang
bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan
Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta
perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun
mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku
Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua,
tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang
dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi:
"Sekiranya
aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan
pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran
untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang
kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau
aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi
suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat
karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum
buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh
bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau
Bangka.
Douwes
Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan
tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi.
Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan
memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman
internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang
ke pulau Banda.
Namun mereka
menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari
banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan
itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia
kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah
pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs
Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922.
Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik
agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.
Tidak
sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada
1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga
ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah
keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia
juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke
pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan
buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara
itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan
tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di
samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah
zaman kemerdekaan,
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama Ki Hajar
Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara
bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan
pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei
dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959,
tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun
setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada
tanggal 28 April 1959 di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian
oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai
semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda
atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam
kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam
dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini
perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya,
adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai- nilai kemerdekaan yang asasi.
RADEN AJENG KARTINI
Raden
Ajeng Kartini lahir pada 21 April tahun 1879 di kota Jepara, Jawa Tengah. Ia
anak salah seorang bangsawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Setelah
lulus dari Sekolah Dasar ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat
yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk
dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut, ia ingin menentang
tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Untuk menghilangkan
kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan
lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani Simbok
(pembantunya).
Akhirnya membaca menjadi
kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar
dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang
dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini
tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih
menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia.
Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan
mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan
lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat
dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis
surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di
negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak
sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden
Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang.
Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita.
Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang,
Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah
tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong,
ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara
yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904,
Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra
pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan
membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para
teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “DOOR DUISTERNIS TOT LICHT” yang
artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat
ini mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang
mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19
sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam
berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi
seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain
sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas
menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena
dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara
maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-
wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk
mengubah kebiasan kurang baik itu. Belakangan ini, penetapan tanggal kelahiran
Kartini sebagai hari besar agak diperdebatkan. Dengan berbagai argumentasi,
masing-masing pihak memberikan pendapat masing-masing. Masyarakat yang tidak
begitu menyetujui, ada yang hanya tidak merayakan Hari Kartini namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak
pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya. Namun yang lebih
ekstrim mengatakan, masih ada pahlawan wanita lain yang lebih hebat daripada RA
Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan
berbagai alasan lainnya. Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini
tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita
Indonesia saja melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan
pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah dalam skop nasional. Sekalipun Sumpah Pemuda belum dicetuskan
waktu itu, tapi pikiran-pikirannya tidak terbatas pada daerah kelahiranya atau
tanah Jawa saja. Kartini sudah mencapai kedewasaan berpikir nasional sehingga
nasionalismenya sudah seperti yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda 1928.
Terlepas dari pro kontra
tersebut, dalam sejarah bangsa ini kita banyak mengenal nama-nama pahlawan
wanita kita seperti Cut Nya’ Dhien, Cut Mutiah, Nyi. Ageng Serang, Dewi
Sartika, Nyi Ahmad Dahlan, Ny. Walandouw Maramis, Christina Martha Tiahohu, dan
lainnya. Mereka berjuang di daerah, pada waktu, dan dengan cara yang berbeda.
Ada yang berjuang di Aceh, Jawa, Maluku, Menado dan lainnya. Ada yang berjuang
pada zaman penjajahan Belanda, pada zaman penjajahan Jepang, atau setelah
kemerdekaan. Ada yang berjuang dengan mengangkat senjata, ada yang melalui
pendidikan, ada yang melalui organisasi maupun cara lainnya. Mereka semua
adalah pejuang-pejuang bangsa, pahlawan-pahlawan bangsa yang patut kita hormati
dan teladani.
Raden Ajeng Kartini sendiri
adalah pahlawan yang mengambil tempat tersendiri di hati kita dengan segala
cita-cita, tekad, dan perbuatannya. Ide-ide besarnya telah mampu menggerakkan
dan mengilhami perjuangan kaumnya dari kebodohan yang tidak disadari pada masa
lalu. Dengan keberanian dan pengorbanan yang tulus, dia mampu menggugah kaumnya
dari belenggu diskriminasi. Bagi wanita sendiri, dengan upaya awalnya itu kini
kaum wanita di negeri ini telah menikmati apa yang disebut persamaan hak
tersebut. Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak
dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan.
RADEN
DEWI SARTIKA
Dewi
Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11
September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum
perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun
1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir,
sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga
meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda,
Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang
tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.
Sepeninggal
ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan
sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai
kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan
seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah
menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di
belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah,
mengajari baca- tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di
kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya
alat bantu belajar.
Raden
Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak
kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan
demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang
guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang
sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak
perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu
itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka
digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa
Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di
waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki
kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir
agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu
pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika
itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan
R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor
Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah
sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas
sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk
ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya,
muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar
berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran
agama.
Sekolah
Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid
bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya
juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri
pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu,
enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit
diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan
Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga
bertambah.
Ia
berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah
tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu,
pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.
Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana.
Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi
kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah
semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan
Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan
perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada
tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola
Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki
cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan
Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten
se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti
menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota
kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal
tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan
Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.
Seluruh
wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota
kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya
yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola
Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi
bintang jasa oleh pemerintah Hindia- Belanda.
Tahun
1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang
yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang,
yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September
1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di
pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian
dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar,
Bandung.
“Jangan tanya apa yang telah
diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada negaramu”. Kata bijak tersebut sangat tepat
menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima
gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya.
Terlepas
dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat
sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya
dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk
bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih
perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai
tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya
sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk
membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana
pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah
lainnya.
DOKTOR
SUTOMO
Dokter
Sutomo yang bernama asli Subroto ini lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli
1888. Ketika belajar di STOVIA (Sekolah Dokter), ia bersama rekan-rekannya,
atas saran dr. Wahidin Sudirohusodo mendirikan Budi Utomo (BU), organisasi modern pertama di Indonesia, pada tanggal
20 Mei 1908, yang kemudian diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia, dipelopori oleh para
pemuda pelajar STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo,
Gunawan, Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan
lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai ketuanya.
Tujuan
perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis dengan jalan
memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa
yang terhormat.
Kemudian
kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5 Okt
1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai
ketua; Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan
Sosrosugondo (kedua-duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir
Legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso),
Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangunkusumo (dokter di
Demak) sebagai komisaris.
Sutomo
setelah lulus dari STOVIA tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di
Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan
akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia membasmi wabah pes yang melanda
daerah Magetan.
Ia
banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara
lain, ia semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung
dapat membantu mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan
adakalanya pasien dibebaskan dari pembayaran. Kemudian
ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada tahun
1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo.
Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat
mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya
terbuka buat seluruh rakyat.
Kemudian
pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan
wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun,
bank kredit, koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama
menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang
pesat.
Sementara
itu, tekanan dari Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional
semakin keras. Lalu Januari 1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian
disetujui oleh kedua pengurus-besarnya pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres
peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, melahirkan Partai
Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-26 Des 1935. Sutomo
diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia merdeka.
Selain
bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50
tahun, ia meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
ROHANA KUDUS
Rohana
Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera
Barat, 20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta,
17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah wartawan
Indonesia.
Ia lahir dari ibunya yang bernama Kiam dan ayahnya bernama Rasjad Maharaja
Soetan. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana
Menteri Republik Indonesia yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari penyair
terkenal Chairil Anwar.
Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim.
Ayahnya, seorang pegawai Pemerintah
Belanda
yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor.Dalam Umur yang masih
sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda.
Selain itu ia juga belajar Abjad Arab, Latin, dan Arab Melayu. Saat ayahnya
ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan
Pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar
menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan
Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat
berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat
digemari Rohana.
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah
kembali ke kampung dan menikah pada usia 24 tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris.
Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada
tanggal 11 Februari 1911 yang diberi
nama “Sekolah Kerajinan Amai Setia”. Di
sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan
mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa
Belanda.Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan
sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan
fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk
memajukan kaum perempuan.. Disamping itu juga Rohana menjadi perantara untuk
memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat
ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta
koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang
pertama di Minangkabau.
Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa
Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut
sebagai perintis pendidikan perempuan
pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan
pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung
dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting
Melayu pada tanggal 10
Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di
Sumatera Barat dan Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya
adalah perempuan.
Pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah
didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester
karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi
beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya,
seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Tuduhan pada Rohana
tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun
dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”. Rohana mengelola
sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan
yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal muritnya
banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini
disebabkan Rohana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan
juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya
tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya
keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan
mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir
Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri.
Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit
Singer yang sebelumnya
hanya dikuasai orang Cina.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran
mengajar di sekolah Dharma Putra. Di
sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana
diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua
guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah
menempuh pendidikan formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit
dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa
Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar
dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap
pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi
laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat
perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala
kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat
pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan
rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya
hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi
yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan
dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu
sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati
sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah
diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Pergerakan
Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap
kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya
yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya
dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga
mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke
Bukiktinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya
dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh
dengan kereta api.
Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk
ketika merantau ke Lubuk Pakam dan Kota Medan. Di sana dia
mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Kembali ke Padang, ia
menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Cina Melayu di Padang dan
surat kabar Cahaya Sumatera.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya dengan
beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan
bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana.
Selama hidupnya ia menerima Penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9
Februari
1987, Menteri
Penerangan Harmoko
menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Dan pada tahun 2008 Pemerintah
Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa
Utama.